BREAKING NEWS

Konflik Lahan Parit 11: Kuasa Hukum Ingatkan Risiko Hukum dan Sosial Jika Proyek Pertanian Dipaksakan

BANYUASIN – Proyek pertanian (oplah) berbasis APBN di Parit 11, Kecamatan Air Salek, Kabupaten Banyuasin, terancam mandek akibat sengketa lahan yang belum terselesaikan antara ahli waris almarhum Abd Rahman dan warga setempat. Upaya mediasi yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu gagal mencapai kesepakatan yang mengikat, sehingga memicu kekhawatiran akan terjadinya eskalasi konflik yang lebih luas di masyarakat.  (9/8/2025)

Kantor Hukum Suwito Winoto SH MH yang diwakilkan oleh (Andy Nopiansyah SH, Ricko Tampati SH) kuasa hukum ahli waris Abd Rahman, menjelaskan bahwa konflik ini bersumber dari dualisme klaim kepemilikan lahan. Di satu sisi, masyarakat setempat mengklaim hak turun-temurun atas lahan tersebut berdasarkan hukum adat yang telah berlaku selama puluhan tahun. 

Sementara itu, ahli waris Abd Rahman bersikukuh bahwa mereka memiliki hak legal atas lahan tersebut dengan mengacu pada Sertifikat Hak Milik (SHM) yang telah diterbitkan secara resmi.

Lebih lanjut, Kami menyoroti bahwa proses mediasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan DPRD Kabupaten Banyuasin, Camat Air Salek, aparat kepolisian dari Polsek Makarti Jaya, perwakilan TNI dari Danramil Sungsang, serta Kepala Desa Air Solok Batu dan sekitar 50 warga setempat, ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kegagalan mediasi ini dinilai semakin memperuncing situasi karena tidak adanya titik temu yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Andy Noviansyah memaparkan tiga risiko utama yang harus diwaspadai jika konflik ini tidak segera diselesaikan dengan baik.

Pertama, risiko sosial yang sangat besar, di mana ketegangan antarwarga dapat memicu kerusuhan dan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Selain itu, lanjut Andy, ketidakpuasan masyarakat terhadap proses penyelesaian yang tidak adil dapat mengikis kepercayaan mereka terhadap pemerintah daerah maupun pusat.

Kedua, risiko hukum yang tidak kalah serius. Andy mengingatkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Jika terbukti ada kesalahan dalam proses penerbitan sertifikat, hal ini dapat berujung pada gugatan hukum, pembatalan proyek, atau bahkan tindak pidana terkait pertanahan.

Ketiga, risiko keuangan yang berdampak langsung pada keuangan negara. Mengingat proyek ini menggunakan dana APBN yang cukup besar, pembatalan atau penundaan proyek dapat menyebabkan pemborosan anggaran dan potensi kerugian negara yang signifikan.

Proses mediasi sebelumnya dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, antara lain Bapak Aris Lahari, S.H. selaku Anggota DPRD Kabupaten Banyuasin dari Komisi II, Bapak Mulyadi, S.Sos. selaku Camat Air Salek, IPTU Suhendri, S.Kom. selaku Kapolsek Makarti Jaya, Serka Qory sebagai perwakilan Danramil Sungsang, Ibu Karsini selaku Kepala Desa Air Solok Batu, serta Bapak Nopel, S.H. yang bertindak sebagai kuasa hukum masyarakat. 

Selain itu, sekitar 50 warga setempat turut hadir menyaksikan jalannya mediasi.

Pertemuan mediasi tersebut dilaksanakan pada (8/8/2025) di Kantor Kecamatan Air Salek, namun sayangnya berakhir tanpa kesepakatan yang memuaskan semua pihak. Sementara itu, lokasi sengketa terletak di Parit 11, Kecamatan Air Salek, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, yang merupakan wilayah pertanian potensial namun kini terhambat oleh konflik kepemilikan lahan.

Menghadapi situasi yang pelik ini, Andy Noviansyah menawarkan beberapa langkah strategis sebagai solusi alternatif.

Pertama, audit legal terhadap sertifikat yang dimiliki oleh ahli waris perlu segera dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memverifikasi keabsahan dokumen tersebut. Langkah ini dinilai penting untuk memberikan kepastian hukum sebelum proyek dilanjutkan.

Kedua, mediasi ulang dengan pendekatan berbeda perlu segera diinisiasi. Andy menyarankan agar melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti akademisi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada isu pertanahan, untuk memfasilitasi dialog yang lebih konstruktif antara kedua belah pihak.
Ketiga, sosialisasi yang transparan kepada masyarakat tentang status lahan dan dampak proyek pertanian ini harus segera dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat yang dapat memicu keresahan di tingkat akar rumput.

"Pemaksaan proyek tanpa penyelesaian sengketa hanya akan memperburuk situasi. Negara bisa rugi ganda, baik secara hukum maupun keuangan," tegas Andy dengan nada serius.

Saat ini, proyek pertanian Parit 11 berada di persimpangan jalan. Pilihan sulit harus diambil: melanjutkan proyek dengan risiko konflik yang semakin meluas atau menunda pelaksanaan hingga ada kepastian hukum yang mengikat. Andy Noviansyah mengimbau pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah-langkah preventif guna mencegah situasi yang tidak diinginkan.

"Kami berharap semua pihak dapat duduk bersama mencari solusi terbaik. Kepentingan masyarakat dan kepastian hukum harus menjadi prioritas utama," pungkas Andy menutup pembicaraan.

Liputan : Mulyadi
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image